
selamat datang
Sabtu, 11 Februari 2012
my first short story :)
Kabut Kelam
Penghias Mentari
”MAAAKK..ANAKMU LULUS………” suara itu seakan menjadi
semboyan trendsetter bagi seluruh pemegang kekuasaan abu-abu di seantero negeri
ini. Ya, hari ini merupakan hari yang paling ditunggu-tunggu oleh mereka
setelah berakhirnya hari menegangkan yang membuat ion-ion dari dalam tubuh terkuras
habis menghadapi berbagai macam huruf dan angka di setiap lembar kertas yang
dibagikan oleh pengawas setiap harinya.
Hal seperti itu juga dirasakan
oleh para murid di SMK Farmasi Kusuma Bangsa. Jantung siswa-siswi yang tadinya
berdegup kencang dan seolah-olah ingin lari dari tempat asalnya sekarang telah
kembali bergoyang secara sempurna sesaat setelah kepala sekolah membacakan
pengumuman kelulusan dalam waktu sepersekian detik saja.. Suasana panas yang
mencekam tadi seketika berubah drastis bak tetesan salju yang mengaliri
pembuluh darah mereka hingga merobek segala tekanan dan seakan menyirami
sekujur aliran darah mereka dengan kesejukkan. Sesaat setelah itu mereka
berteriak histeris lalu melompat kegirangan dan memeluk teman-temannya dengan
beruraian air mata tetapi dengan tetap memancarkan rona bahagia disetiap
pelupuk wajahnya.
Di depan koridor XI.A tampak
dua orang siswi yang sedang menangis haru dan saling berpelukan sambil sesekali
terlihat sesenggukan.
”Akhirnya kita lulus juga ya,
Nin. Gue seneng banget,” ucap Klara sesenggukan.
”Ah elo, seharusnya gue yang ngomong kayak gitu,” tandas
Nindya.
“Halah masa siswi yang bentar lagi jadi mahasiswi
kedokteran nggak lulus, it is impossible,”
balas Klara.
“Eh zaman edan kayak gini tuh nggak ada yang nggak
mungkin. Lagian gue juga untung-untungan bisa keterima di fakultas itu. Nah
lain ceritanya kalo elo ‘pemegang predikat siswi terbaik’ bisa nggak lulus, itu
baru berabe,” ucap Nindya.
“Yela. Kita ke kantin yuk,” kata
Klara.
Banyak siswi yang iri melihat
keakraban mereka yang terjalin dengan sangat erat. Mereka berdua adalah Nindya
dan Klara. Duo sahabat yang tidak pernah terpisahkan dari SD, SMP, hingga SMA.
Tetapi mungkin sekaranglah Tuhan berencana untuk memisahkan mereka karena
Nindya diterima di fakultas kedokteran UGM sedangkan Klara menjadi siswa
undangan di UNSRI jurusan farmasi.
Sesampainya di kantin mereka
berdua kembali berincang-bincang.
”Nin, gue mau cerita nih, tapi gue malu.” ucap Klara sambil
tersenyum manja.
”Lo apa-apaan sih, Ra. Masa
sama gue aja malu-malu. Emang lo mau cerita apa?” tanya Nindya sesaat setelah
merengguk teh manis buatan Mang Anto, seorang pedagang di kantin sekolah.
”Ehm, gue udah jadian,” bisik Klara.
“Uhuk…uhuk…lo ngomong apa, Ra?
Gue nggak salah denger?”
”Iya Nin, gue serius. Gue sayang banget sama dia. Dia tuh pangeran
yang selalu ada buat gue, selalu hadir di mimpi gue, dan selalu ngasih kasih
sayangnya yang tulus dan utuh sama gue. Mana cakep juga, unyu-unyu gitu deh.
Pokoknya T.O.P lah, Nin.”
“Jiaelah nih anak
kok jadi puitis amat ya? Iya deh iya, pokoknya kalo lo seneng gue juga seneng.
Jangan lupa kenalin ke gue
ya,” ucap Nindya
”Hahaha
makasih sayang. Gue jadi ikutan puitis gara-gara dia. Dia jago buat puisi loh,
Nin. Katanya sih yang jadi inspirasinya buat puisi tuh gue sama almarhumah
ibunya. Gila banget kan? Siapa juga yang nggak seneng digituin sama orang yang
kita sayang?” celoteh Klara.
”Pantesan
lo tiba-tiba sok jadi penyair gini. Ternyata dapet wangsit
dari dia ya? Btw, namanya siapa sih?”
”Namanya
Ibenk, Nin.”
”Hah?
Orang tuanya punya bengkel ya?”
”Nggak
kok, ngaco lo. Emang kenapa?”
”Abis
namanya kayak peralatan bengkel, ibenk sama obeng, 11 12 lah.” Ucap Nindya disertai
tawa.
“Enak aja lo,” tandas Klara yang sedikit memanyunkan
bibirnya tetapi masih terlihat sedikit senyum diujungnya.
“Emang dia anak mana, Ra?” lanjut Nindya
“Dia anak Bhakti Nusa, dua tahun diatas kita,
Nin. dia anak TI tapi kemungkinan besar dia bakal ngelanjutin ke Akpol”
”Oh
begitu.” ucap Nindya.
Begitulah
keseharian mereka, suka dan duka selalu dilewati berdua. Tangis dan canda tawa
berlebur menjadi satu kesatuan yang utuh selama mereka bersama. Tapi sebentar
lagi jarak akan memisahkan mereka. Akankah persahabatan mereka tetap berjalan
dengan baik? Akankah ada aral melintang yang membatasi segala keakraban mereka?
Sepertinya begitu.
***
Beberapa tahun kemudian...
Kondisi kamar Klara yang sangat
indah dihiasi dengan wallpaper bunga-bunga sangat berbanding terbalik dengan
suasana hatinya saat ini.
”Aarrggh, kenapa sih dulu bunda
ngerahasiain ini semua sendiri? Kenapa, bun ? Apa artinya gadis bunda ini?
Keinginan Klara dari dulu tuh cuma pengen selalu ngeringanin beban bunda, tapi
kenapa malah jadi Klara yang jadi nambah beban bunda? Ya Allah, Klara nggak tau
harus berbuat apa.” Klara pun bermonolog sendiri dengan linangan air mata. Tak
berselang waktu lama, ia berbalik badan dan mengambil secarik kertas di laci
yang berada di pojok ruangan. Kertas itu berisikan beberapa bait puisi.
Aku tidak bisa menemukan cinta yang
lain selain cintamu,
Karna mereka tak tertandingi oleh
sosok dirimu dalam jiwaku
Kau takkan pernah terganti
Bagai pecahan logam
Mengekalkan...
Kesunyian...
Kesendirian...
Dan kesedihanku...
Kini aku t’lah kehilanganmu...
With love,
Prazera Ferbilly (Ibenk)
Tangisan Klara semakin
membahana setelah ia membaca kembali puisi terakhir pemberian Ibenk. Kemudian
ia meraih sebuah foto di sampingnya yang kembali mengingatkannya dengan
kejadian bulan lalu yang tak pernah hilang dari benaknya saat semuanya
berakhir. Saat keindahan bersama sang pangeran harus kandas, saat-saat nikmatnya
menghirup oksigen dari Sang Pemberi segalanya tanpa hambatan, saat ia merasakan
indahnya hidup tanpa berbagai diagnosa dari para manusia berpakaian putih yang
sering berkular-kilir di rumah sakit yang setiap bulan dikunjunginya, dan saat
ia mengirim pesan singkat kepada Ibenk dan mengakhiri semuanya.
To : PangeranKu
Benk, kyaknya hbungan qt cm bs smpe sni aj. Km psti tw alasannya kan? Jaga dirimu
ya, ak ngelakuin ini hanya karna rs sygku yg tulus dan utuh. Ak mencintaimu.
Bulir-bulir air matapun terasa
ingin mengejar pelupuk mata Klara setelah menekan tombol send dari blackberrynya.
Tangannya bergetar saat membaca kembali pesan singkat yang baru saja terkirim
untuk kekasih hatinya yang selama 4 tahun terakhir ini menemani dan mengisi
harinya dengan penuh warna. Dadanya sesak menahan tangis yang sangat sulit
untuk dibendung. Memori saat bersama Ibenk seketika berhilir mudik seakan silih
berganti melintas di fikirannya.
Klara ragu apakah Ibenk akan masih
tetap mencintainya jika ia tau keadaan yang menimpa dirinya sekarang ini. Oleh
karena itulah ia mengambil keputusan untuk menyudahi hubungannya dengan alasan
’nggak sanggup LDR’. Hal ini memang terlihat sangat klise, wajar saja Ibenk
yang tak mengira hubungannya akan berakhir seperti ini langsung menolak
keputusan itu. Tapi Klara yang memiliki sifat asli kepala batu berhasil
melumpuhkan segala pertanyaan dan pernyataan yang diajukan oleh Ibenk dengan
berbagai macam alasan kamuflase. Ia sebenarnya ingin mengeluarkan segala penat
yang menjadi buih-buih di otaknya saat itu, tetapi ia sendiri bingung harus
melampiaskannya kepada siapa. Kepada dirinya sendiri kah? Atau kepada ibenk?
Tentu saja tidak, karena tak ada satu pun di antara mereka yang menginginkan
perpisahan ini. Lalu kepada siapa ia harus menuang cairan emosi yang terus
mengalir di setiap detakan nadinya saat ini? Kepada bundanya kah? Atau kepada
secarik kertas yang tak sengaja ia temukan beberapa hari yang lalu di lemari
bundanya karena disana tercantum namanya yang didiagnosa menderita kanker darah
stadium akhir? Entahlah, kepala Klara seakan ingin mengeluarkan segala isinya
dan enyah dari kehidupan karena tak sanggup terbebankan dengan semua ini.
Klara tetap berusaha enjoy dengan keadaan seperti ini. Hari
berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan ia lewati
dengan baik meskipun hampir setiap hari pula tetesan bening yang berujung
dengan aliran tepat di depan kulit pipinya yang lembut itu terus jatuh dari
ambang batas kekuasaan si pemilik pelupuk mata. Bayangan Ibenk selalu ada di benaknya
dan takkan pernah hilang karna ia begitu menyayanginya.
Braak, Klara menghempaskan
tubuhnya yang mungil ke atas sofa empuk yang menjadi tempat favoritnya sewaktu
tidur di saat malam mulai menyapa. ”Tuit..tuiit..aha..aha..” nada message dari telfon genggamnya kembali
memperdengarkan bunyi lucunya. Klara pun segera membuka pesan tersebut.
From : Nindya
Klaraaaa...ap kbr lo? Bsk krmh gw y. Gw lg liburan
bareng pacar baru gue. I’m waiting u, darl :* :D
Klara sontak kaget
bercampur bahagia mendapat pesan singkat dari sahabat lamanya itu
kemudian bergegas membalasnya.
To : Nindya
Ya ampun
Nindyaa…gw kangen bgt sm lo. bnyk bgt sebenarny yg mw gw tanya+ceritain ke elo
tp bsk aj deh. Enk y yg ga jomblo L
Tak beberapa lama saat Klara mengirim balasan sms
tersebut, balasan dari Nindya pun kembali menjadi salah satu pemenuh inbox Klara
From : Nindya
Haha iya deh bsk
qt bakal cerita bnyk. Lo gak sm Ibenk lg y, Ra? Knp?
Setelah membaca pesan singkat dari Nindya, Klara menjadi
kehilangan selera untuk menggubris message
itu lagi. Begituah Klara,
ia seakan tak memiliki kekuatan saat nama Ibenk disebut-sebut. Ia juga tak
ingin seorang pun tau apa yang menyebabkan hubungannya berakhir meskipun orang
itu adalah sahabatnya sendiri.
Keesokan harinya saat sinar matahari menampakkan dirinya,
Klara segera membereskan diri beserta kamar tidurnya. Meskipun suasana panas
dari luar tak bersahabat tetapi hati Klara dapat mengalihkannya menjadi
secercah cahaya yang lembut dengan dibubuhi oleh kehangatan yang begitu kentara
karena hari ini dia akan bertemu sahabatnya, Nindya. Setelah beberapa menit
memoleskan sedikit cahaya bening di sekitar bibirnya, ia pun segera membereskan
diri dan langsung memacu fortunernya menuju ke rumah Nindya. Sesampainya di rumah
Nindya ia langsung memarkirkan mobilnya tepat di halaman rumah Nindya.
Suasana yang tercipta di rumah ini sungguh merasuk sukma.
Hembusan angin sepoi-sepoi dan gemerisik dedaunan serta kicauan burung pipit
seolah menemani keheningan di kompleks rumah yang terkenal dengan kualitas
elitenya ini. Klara pun segera menekan bel yang berada tepat di depannya.
Tingtingtongtong, begitulah bunyi bel rumah Nindya yang
beda dari bunyi bel biasanya. Setelah menekan bel beberapa kali, terdengar
suara dari dalam rumah “Ya, tunggu sebentar”, pintu pun dibuka. Terlihat
seorang wanita paruh baya, dia adalah mamanya Nindya.
“Tante, apa kabar?” ucap Klara dengan menyalami Mama
Nindya.
“Ya ampun Klara, tante sampe pangling ngeliat kamu. Alhamdulillah,
tante sehat. Tante harap kamu juga begitu. Ayo silakan masuk,”
“Iya tante, terimakasih. Nindyanya ada, Tan?” ucap Klara
sambil meletakkan tubuhnya di atas sofa dengan sangat anggun.
“Oh Nindya sudah dari pagi tadi pergi sama pacarnya.
Mungkin sebentar lagi pulang.”
Sesaat setelah itu, terdengar deru mesin motor dari luar.
“Nah, itu Nindya nya baru pulang” lanjut Mama Nindya
sambil menoleh ke arah suara motor.
“Assalamu’alaikum,” Terdengar suara wanita dan laki-laki
yang menyatu dari balik pintu..
“Wa’alaikumsalam.” ucap Mama Nindya dan Klara menjawab
salam tersebut. Tak lama kemudian Nindya mencium tangan mamanya dan menoleh ke
sosok yang sedari tadi berdiri di belakang mamanya.
“Klara? Ya ampun, udah lama ya disini? Gue kangen sama lo,”
ucap Nindya seraya memeluk hangat sahabatnya itu.
“Gue juga kangen banget sama elo. Ehm-ehm, btw siapa tuh yang diteras?” ucap
Klara sambil mengerlingkan matanya tanda meledek sahabatnya yang langsung
disambut dengan pipi kemerah-merahan oleh Nindya.
“Haha, anak muda zaman sekarang ada-ada aja. Mama mau keluar
dulu ya, ada yang ingin dibeli. Oh iya Nin, ajak Billy masuk kasian dia
lama-lama di teras.” Ucap Mama Nindya sambil berlalu sesaat setelah mendengar
ledekan dari Klara untuk Nindya.
“Iya mamaku sayang” jawab Nindya sambil menemani mamanya
keluar rumah. Kemudian mempersilakan Billy masuk ke dalam dan memperkenalkannya
kepada Klara.
“Ra, kenalin ini pacar gue. Namanya Billy, Prazera
Ferbilly.”
Mendengar nama itu, Klara yang sedari tadi menunduk
tiba-tiba terlonjak kaget mengangkat kepalanya dan seakan tak percaya saat
melihat paras menawan yang tak sanggup ia hilangkan dari benaknya dari dulu
hingga saat ini. Setelah sekian tahun tak bertemu, sekarang sang pangeran
hatinya itu berada persis tepat di depannya.
Hal ini juga dirasakan oleh Billy alias Ibenk, wanita
indah yang sebenarnya sampai sekarang belum hilang dari hatinya sekarang
berdiri termangu dihadapannya. Meskipun dia telah berganti status menjadi pacar
baru sahabat dekat dari Klara tetapi ia masih bisa merasakan dahsyatnya gejolak
cinta dari hatinya dan yang seakan juga mendapat transfer cinta dari palung
hati Klara. Nindya yang bingung dan heran dengan keadaan ini berusaha
mencairkan suasana.
“Kalian berdua kenapa sih? Udah saling kenal ya?”
“Eee..ee..nggak kok Nin. Kita baru pertama kali ketemu
kok.” Ucap Klara dengan terbata-bata.
“Oh kirain. Ya udah sekarang kamu duduk dulu ya, sayang.
Aku mau buat minuman dulu sama Klara.”
“Ee..iya-iya” jawab Billy singkat untuk menutupi
kegugupannya.
Nindya dan Klara pun berbalik meninggalkan Billy dan
menuju ke belakang. Hati Klara tak dapat menghilangkan semburan gas yang
membuat seluruh ruangan yang tersisa di hatinya terbakar habis saat mendengar
kata sayang yang terlontar dari bibir Nindya untuk Billy. Fikirannya berkecamuk
antara sedih, benci, dan bingung. Dia sendiri tak sanggup untuk menyadari semua
kenyataan ini. Betapa kecilnya dunia ini, fikir Klara. Dalam hati ia berkata,
‘Oh Tuhan, tak adakah Prazera Ferbilly lainnya yang engkau takdirkan untuk
Nindya?’. Fikiran Klara saat itu sungguh berkabut.
Sesampainya di dapur, Nindya bercerita banyak mengenai
Billy kepada Klara. Mulai dari hal-hal yang membuat ia sayang kepada Billy
sampai bermacam-macam argumen yang membuat ia tak memiliki alasan secuilpun
untuk melepaskan Billy karena rasa cinta yang begitu besar. Hati Klara kembali
seakan tercabik-cabik mendengar cerita Nindya. Tetapi di sisi lain, Klara juga
senang akan kebahagiaan sahabatnya itu. Karena bercampurnya rasa yang ia
sendiri tak mengerti apa itu akhirnya linangan air mata pun menjadi penengah
dari pencampuran rasa saat itu. Nindya memang tak menyadari hal ini.
Sampai-sampai karena saking senangnya bercerita, ia hampir tak mendengar bunyi
tangis dari suara sahabatnya itu. Sesaat setelah itu barulah ia menyadari akan
tangis tersebut.
“Ra, lo nangis? Kenapa? Gw salah ngomong ya?”
“Ee..ee..nggak kok, Nin. Gue cm terharu aja dengerin
curhatan lo. Cinta lo kayaknya kuat banget ya sama Billy,”
“Oh tentu. Tapi perasaan omongan gue tadi biasa-biasa aja
tuh, Ra. Kok lo sampe nangis ya? But, ya udahlah anggap aja itu tandanya lo
care sama gue. Makasih ya Klara ku sayang.” Ucap Nindya sambil merangkul
sahabatnya itu.
“Itu hanya dikarenakan rasa sayang gue yang tulus dan
utuh” tandas Klara.
Setelah selesai membuat minuman, mereka berdua kembali ke
ruang tamu dan mempersilakan Billy untuk meminumnya. Setelah 30 menit berlalu,
Klara meminta izin kepada Nindya untuk pulang. Tiga puluh menit duduk bersama
Billy dan Nindya ternyata membuat Klara seakan menatap mereka berkasih sayang
selama 30 tahun .
“Nin, gue pulang ya,” ucap Klara tiba-tiba.
“Kok cepet banget, Ra? Ntaran aja ya.”
“Tadi bunda nyuruh gue cepet pulang. Mohon mengertilah.”
pinta Klara dengan muka memelas.
“Oke-oke, kalo udah bicara soal bunda lo, gue nggak bisa
komen deh. Titip salam gue buat bunda lo ya. Kapan-kapan main ke rumah gue
lagi. Ok ?”
“Sip, kalo masih ada umur,” lalu Klara menoleh ke arah
Billy dan berkata “Eh Bil, jagain sahabat gue baik-baik ya. Sayangi dia
seutuhnya”
“Baik, Ra” jawab Billy dengan perasaan yang sangat sulit
untuk digambarkan.
Nindya pun mengeluarkan mobilnya dari pelataran halaman
rumah Nindya dan melesat kencang dengan menarik penuh gas fortunernya. Nindya
pun mengajak Billy kembali masuk ke dalam rumah dan menceritakan beberapa hal
penting mengenai Klara.
“Klara itu sahabat gue dari kecil. Kami berdua se-SD,
SMP, dan SMA. Aku deket banget sama dia dan nggak ada satu hal pun yang aku
nggak tau dari dia. Tapi akhir-akhir ini kami jarang komunikasi karena sibuk
sama aktifitas masing-masing. Maklumlah, kita kan baru selesai UTS. Aku juga
lupa tadi nanyain kenapa dia sampe putus sama pacarnya yang dulu. Padahal sih
kalo aku liat, Klara tuh masih cinta banget sama mantannya itu sampe sekarang,”
lalu tiba-tiba Billy memotong pembicaraan Nindya.
“Bentar, Nin. Apa kamu bilang barusan? Klara masih sayang
sama mantannya sampe sekarang? Emang kamu tau darimana?”
“Buktinya dia masih make kalung pemberian mantannya itu.
Katanya sih itu simbol cinta mereka.”
“Oh gitu, itu hanya dikarenakan rasa sayangnya yang tulus
dan utuh,” jawab Billy yang masih mencerna
perkataan dari Nindya barusan.
“Eh bentar deh, kata-kata yang barusan kamu omongin
persis kayak yang diomongin sama Klara tadi di dapur.”
“Ee.. itu mungkin hanya kebetulan.” ucap Billy mengelak.
“Udah sore nih, Nin. Aku pulang dulu ya” kata Billy melanjutkan ucapannya.
“Iya, hati-hati ya, Bill.”
Setelah
seminggu kejadian itu hati Billy dan Klara gundah gulana. Mereka seperti
terserang insomnia yang tak kunjung reda di setiap malam. Mereka terlalu sering
memikirkan hal itu. Kondisi Klara pun akhirnya semakin menurun, penyakit leukimia
itu pun semakin merajam tubuhnya. Bunda Klara ingin membawanya ke rumah sakit
tapi ajakan itu ditolak mentah-mentah oleh Klara.
“Bunda,
Klara cuma ingin ngelepas jasad Klara di rumah ini, bukan di tempat lain
ataupun di rumah sakit. Mengertilah, Bunda.” Pinta Klara kepada bundanya sambil
terisak dan diikuti oleh tangis bundanya yang memecah keheningan pada siang hari
itu.
Lain
halnya dengan Nindya, sinar mentari nan indah yang setiap hari hilir mudik di
depan jendela kamar tak menyurutkan fikiran buruknya akan sesuatu hal yang akan
menimpa dirinya. Pesan singkat dari Bunda Klara yang menyuruhnya untuk datang
ke rumah Klara pun semakin memperkuat firasatnya. Tanpa pikir panjang ia
langsung menelpon Billy dan mengajaknya ke rumah Klara.
“Nin,
kita mau kemana sih?” tanya Billy saat di atas motor.
“Udah
deh nggak usah banyak tanya dulu. Pokoknya abis pertigaan kamu belok kanan ya”
ucap Nindya.
“Loh,
itu kan jalan ke rumah Klara. Kamu mau ngapain kesana?” tanya Billy.
Kalimat itu terlontar begitu
saja oleh Billy. Sesaat setelah itu ia baru tersadar atas apa yang telah ia
ucapkan.
“Hah?
Kamu tau darimana kalo itu jalan ke rumah Klara? Aku kan belum pernah ngajakin
kamu kesana?” tanya Nindya heran.
“Ee..
kamu kan pernah cerita sama aku jalan ke rumah Klara. Jadi aku masih inget,”
kilah Billy.
“Oh
begitu ya.” jawab Nindya singkat tanpa terlalu mempermasalahkan hal itu.
Saat
tiba di rumah Klara, Nindya dan Billy bergegas masuk ke dalam rumah dan
berjalan ke arah kamar Klara. Disana mereka menemukan sosok Klara yang
terbaring lemah tak berdaya. Ia tersenyum saat melihat Nindya dan Billy berada
didekatnya. Klara menatap mereka tiada berkedip. Saat itu Billy berada persis
di sampingnya dan menggerakkan tangannya ke kepala Klara lalu mengelusnya bak
permaisuri. Sontak hal itu membuat Nindya sedikit menjadi garang. Tetapi ia
segera menepis hal itu dan langsung berfikir positif. Beberapa detik berlalu
dengan keheningan tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka.
Perlahan pandangan mata Klara meredup. Tak lama kemudian kedua matanya yang
bening itu tertutup rapat dan paru-parunya tak mengalirkan oksigen lagi. Nadinya
tiada lagi berdenyut. Dan jantungnya telah berhenti berdetak. Setelah itu tak
ada satu manusia pun yang kuasa menahan derasnya lelehan air mata. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun!. Ruh
Klara telah terbang dan kembali menuju Tuhannya. Ia menghadap Tuhan dengan
menyungging senyum di bibir. Wajahnya bersih seakan diselimuti cahaya.
“Klaraaaaaaa......... aku begitu
mencintaimu dengan tulus dan utuh” teriak Billy memecah tangis di dalam kamar
itu. Mendengar teriakan tersebut, Nindya kaget bukan kepalang. Ia menoleh ke
arah Billy dan akhirnya bertemulah ke empat bola mata yang masih beruraian air
mata itu.
“Maksud kamu apa, Bill?” tanya
Nindya yang masih belum mengerti dengan keadaan yang ia hadapi saat ini.
“Ya, mungkin inilah saatnya aku
memberitahumu akan segala hal yang telah aku tutupi selama seminggu ini. Tapi
sebelumnya berilah aku maaf karena baru membicarakan hal ini kepadamu. Nindya,
apakah kamu tau apa yang membuatku seminggu terakhir ini membicarakan hal-hal
yang selalu mengarah pada Klara? Apakah
kamu tau siapa sebenarnya laki-laki yang memberikan kalung yang tergantung
indah di lehernya hingga saat ini? Dan apakah kamu tau siapa laki-laki yang
menjadikannya sosok inspirasi dalam mengolah kata-kata hingga menjadi sebait
puisi? Apakah kamu tau siapa dia?”
“Ya aku tau dia siapa. Dia adalah
Ibenk, mantan pacar pertama Klara. Terus apa hubungannya dengan semua ini?”
“Benar sekali, laki-laki itu adalah
Ibenk. Dan Ibenk itu adalah aku, Prazera Ferbilly. Semasa SMA aku hanya dikenal
dengan nama Ibenk.”
Hati Nindya seakan tersengat lebah
saat mendengar ucapan Billy. Ia shock
sehingga membuat tubuhnya menjadi terkulai tak
berdaya.
“Jadi selama ini, Klara
membohongiku?” tanya Klara dengan diiringi isak tangis yang semakin menderu.
“Klara adalah tipikal wanita yang
sangat lembut. Ia tidak akan pernah membiarkan sahabatnya terluka apalagi
penyebabnya adalah dirinya sendiri. Dia terlalu rapuh untuk itu. Di dalam hidup
ini, semua yang ia lakukan hanya karena senantiasa ingin berada di bawah
naungan Tuhannya dan ingin mencintai sesama hanya karena rasa sayang yang tulus
dan utuh”
Tangis Nindya pun tak terbendung
lagi. Ia bingung harus berbuat apa. Menyesal karena tak bisa mengucapkan terima
kasih kepada Klara? Itu sudah tidak mungkin lagi karena Klara sudah tenang di
sana. Yang bisa ia perbuat hanya memukul kepalanya berulang-ulang tetapi hal
itu tak berlangsung lama karena Billy alias Ibenk segera menarik tangan Nindya
seraya mengatakan “Sudahlah, tak ada
gunanya kau menyiksa dirimu seperti itu. Aku mencintaimu.”. Tangis Nindya
tiba-tiba terhenti, ia memicingkan sedikit matanya ke arah Billy dan seakan-akan
membentuk sebuah pemaksaan bagi Billy untuk memberikan penjelasan lebih lanjut
mengenai perkataan yang baru saja ia ucapkan.
“Ya, Klara sekarang sudah pergi
untuk selama-lamanya. Tidak usah memikirkan hal itu lagi karena yang lalu akan
berlalu seiring berjalannya waktu. Pesan terakhir Klara untukkku adalah menjaga
dan menyayangi dirimu. As time goes
by, memory remains, make moments worth remembering, does it?”
“Yes, of course. Now, saatnya kita yang masih diberi nafas oleh
Tuhan agar dapat membenahi diri dan hati, supaya di hari tua nanti kita dapat
menikmati hari hingga ajal meghampiri dan itu membuat surga ‘kan selalu
menanti.” Kata-kata itu meluncur dengan diiringi rangkulan oleh Billy. Keadaan
beberapa menit yang lalu seolah hilang mengawang dan tidak mengusik fikiran
Nindya lagi. Suasana hatinya pun kembali membaik. Melingkarnya tangan Billy di kepalanya
dengan diikuti belaian hangat, membuat suasana hati Nindya semakin merona.
Mainset yang sekarang ada di kepala mereka berdua adalah ‘raga Klara boleh
pergi tapi jiwa Klara masih terletak dengan indah di palung hati terdalam’. Dan itu hanya dikarenakan rasa sayang yang tulus
dan utuh J
Oleh : Rahmi Maylitha (XI.A)

Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ckckckckc
BalasHapuspanjang tegalaww galawwww :D
nampakkk kopass ny
BalasHapusheh? galak basing, carila di nenek moyangnyo google dakkan ketemu cerito cak iko. wo :(
BalasHapus